Minggu, 18 Mei 2008

Daging Makanan Bergizi Kelas Satu, Benarkah?


By: Chindy Tan


”Bukankah daging tetap dibutuhkan tubuh untuk kesehatan?” Demikianlah kepercayaan yang sangat mengakar hingga detik ini, yakni daging sebagai sumber protein kelas satu, sumber kalsium, sumber lemak, sumber vitamin B12 dan sumber zat besi.

Salah satu akar kepercayaan ini bersumber dari sebuah studi antara tahun 1929-1950 dengan menggunakan asam amino yang dimurnikan (padahal makanan yang kita makan bukanlah asam amino yang dimurnikan). Kemudian, penelitian lanjutnya dilakukan pada tikus, yang ternyata tingkat kebutuhan proteinnya paling tinggi dari semua mamalia. Sebagai patokan, jumlah kalori protein yang terkandung dalam air susu tikus adalah 49%, sedangkan pada manusia jumlah kalori protein yang terdapat pada ASI hanyalah 5%.

Mengapa Jadi Berlebih?

Patut dicermati bahwa kebutuhan tertinggi tubuh manusia akan protein seumur hidupnya adalah masa usia 0-5 tahun. Pada masa paling krusial 0-6 bln di mana ASI secara eksklusif diberikan, ASI sendiri ‘hanya’ mengandung 5% kalori protein, Terkecuali masa menyusui, American Journal of Clinical Nutrition mematok rata-rata asupan 2,5% kalori protein per hari, dan banyak populasi yang hidup dengan baik-baik saja pada angka ini. Logis saja, karena pada masa kebutuhan tertingginya pun tubuh kita hanya dipasok 5% kalori protein dari ASI. Tentunya setelah lewat masa pertumbuhan, tubuh kita tidak membutuhkan sebanyak itu lagi, atau cukup di bawah 5% kalori protein.

Bukankah hal yang janggal bila National Egg Board, National Dairy Council, National Livestock, dan Meat Board Amerika menambah 30% dari angka yang harusnya kurang dari 6% (“Diet For A New America”)? Batas aman atau RDA 30% inilah yang disoroti sebagai dasar propaganda industri ternak. Kebijakan tersebut lantas dituangkan ke dalam kurikulum pendidikan. Bermula di Amerika, propaganda daging, telur, susu sebagai sumber protein utama ini pun mendunia, termasuk di Indonesia. Bangku sekolah kita tak luput dari jangkauan propaganda ini. Konsep yang sudah sangat akrab sampai ke sumsum kita, bahwa daging adalah sumber terbaik untuk protein.

Kejanggalan ini terjawab pada uraian Dr. David Reuben yang mempertanyakan: siapakah yang sesungguhnya memperoleh manfaat ekstra 30% batas aman tersebut? Beliau menjawab, “Mereka yang menjual daging, ikan, keju, telur, ayam dan semua sumber-sumber protein yang bergengsi dan mahal lainnya. Jika Anda adalah keluarga Amerika umumnya, Anda harus mengeluarkan uang 40 USD per bulan untuk memompa asupan protein yang sebenarnya tidak Anda perlukan. Pengeluaran ini, memberikan 36 miliar USD per tahun ke kantong penjual.” (Diet For A New America – John Robbins)

Business As Usual

Era globalisasi memberi jalan lapang bagi negara-negara industri yang kuat modal dan kuat teknologi untuk menguasai harkat hidup di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mari lebih jeli menganalisa benang merah tiap fakta berikut: Makanan merupakan 11% dari keseluruhan komoditi perdagangan global, proporsi yang berada di atas perdagangan minyak bumi (Globalization and Human Nutrition, 2001). Produk makanan yang dihasilkan dari produksi pangan yang berlebihan di negara-negara industri mau tak mau harus dipasarkan. Namun karena ‘demand’-nya yang sudah statis (baca: jenuh) atau inelastik di negara industri, maka pilihan pasarnya adalah negara-negara berkembang yang produk pangannya masih ‘tradisional’ dan ‘terbatas’. Untuk ini industri makanan di Amerika Serikat mengeluarkan dana 30 miliar dolar setiap tahunnya untuk promosi (Bulletin of the World Health Organization, 2002). Strategi promosi yang digunakan memberi citra daging sebagai makanan bergengsi, modern dan gaul. Rumus ”Tiga P” digunakan: placing, pricing dan promotion. Hasilnya, menjamur dan mengguritanya bisnis makanan cepat saji hampir di seluruh dunia.

Dampak Terhadap Kesehatan


Prof.dr.Siti Fatimah Muis, M.Sc, SpGK dalam kajiannya,”Globalisasi Pangan: Dampaknya Terhadap Gizi dan Kesehatan” menuliskan bahwa setelah Perang Dunia II, negara berkembang mengalami transisi epidemiologi yakni, menurunnya penyakit infeksi seperti TBC, tifus, diare, lepra dan mulai munculnya penyakit degeneratif seperti penyempitan pembuluh darah jantung atau otak, penyakit gangguan metabolisme dan keganasan. Dan sekarang telah memasuki masa transisi berikutnya adalah transisi gizi atau munculnya masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi berlebih pada saat yang bersamaan muncul dengan masalah gizi kurang. Kelebihan asupan energi pada anak-anak dan remaja, utamanya dari makanan berlemak jenuh tinggi (daging, telur, dan susu) di atas 30% dari keseluruhan asupan energi sehari-hari ternyata juga dapat mengakibatkan kenaikan kolesterol, penebalan/pengerasan dinding pembuluh darah (atherosklerosis) dan diabetes tipe-2 seperti yang dialami usia paruh baya (Rapid Westernization of children’s blood cholesterol in 3 countries, 2000). Pada abad ke-20 diabetes tipe 2 (non-insuline dependent) hanya terjadi pada usia paruh baya dan tua. Namun, tren sekarang menunjukkan penyakit tersebut mulai banyak diderita oleh anak maupun remaja. Terjadi peningkatan empat kali lipat kejadian diabetes tipe 2 pada anak usia anak 6-15 tahun yang terbukti berkorelasi dengan kelebihan berat badan (Type 2 diabetes in young, 2004)

Sesekali saat membesuk rekan yang sakit di RS, cobalah adakan survei kecil. Berapa banyak pasien penderita stroke, serangan jantung, hipertensi, diabetes dan kanker dan yakinlah, sepuluh dari sepuluh penderita tersebut dianjurkan oleh dokter untuk mengurangi atau berpantang daging. Begitu sederhana pesan yang bisa diamati dari sekeliling kita tanpa perlu studi atau riset untuk sampai pada pemahaman bahwa: sederet penyakit inilah yang sebenar-benarnya ’diberikan’ oleh daging kepada tubuh manusia.

Ps. artikel ini hasil repost dari www.dee-idea.blogspot.com, ini dikarenakan saya tidak memiliki kapasitas dalam bidang tersebut.

Rabu, 14 Mei 2008

Global Warming & vegetarian

Bumi Kita Butuh Langkah Cepat, Please Go Veggie!
by: Chindy Tan

pemanasan-global-low-res1.pdf
Alarm tanda bahaya dampak pemanasan global berbunyi semakin nyaring. Pola pencairan es di Arktika merupakan salah satu indikatornya. Perubahan demi perubahan melaju dalam hitungan bulan. Tanggal 18 Maret 2008, Jay Zwally, ahli iklim NASA, memprediksi es di Arktika hampir semua akan mencair pada akhir musim panas 2012. Hanya dalam waktu dua bulan prediksi itu bergeser. Tanggal 1 Mei 2008 lalu, prediksi terbaru dilansir NASA: mencairnya semua es di Arktika bisa terjadi di akhir tahun 2008 ini. Sederet tanda-tanda bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es di Arktika pada musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya. Es di Greenland yang telah mencair mencapai 19 juta ton. Fenomena terbaru lainnya, pada tanggal 8 Maret 2008 beting es Wilkins di Antartika yang berusia 1500 tahun pecah dan runtuh seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya atau sepertiga luas Jakarta).

Efek domino apa yang membayang bila es di Arktika mencair semua? Mencairnya es di Arktika tidak akan menaikkan level permukaan air laut, melainkan akan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di Arktika mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400 miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas metana dapat terlepas akibat mencairnya bekuan gas metana yang stabil pada suhu di bawah dua derajat celcius. Seperti diketahui, gas metana memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari gas CO2. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana kepunahan massal yang pernah terjadi pada 55 juta tahun yang lalu dikenal dengan masa PETM (Paleocene-Eocene Thermal Maximum). Saat itu, gas metana yang terlepas ke atmosfer mengakibatkan percepatan pemanasan global hingga mengakibatkan kepunahan massal. Bukti geologi lain menunjukkan kepunahan massal juga pernah terjadi 251 juta tahun lalu, pada akhir periode Permian. Akibat terlepasnya gas metana, lebih dari 94% spesies mengalami kepunahan massal. Kematian massal terjadi mendadak karena turunnya level oksigen secara ekstrem.

Membaca fakta-fakta di atas, satu hal yang patut digarisbawahi adalah tenggat waktu yang semakin sempit. Dr. Rajendra K. Pachauri, Ketua IPCC, menekankan bahwa dua tahun ke depan merupakan masa tenggat penting untuk menghambat laju pemanasan global yang bergerak dengan sangat cepat. James Hansen, ahli iklim NASA, mengatakan bahwa kita telah berada di titik sepuluh persen di atas batas ambang kemampuan Bumi mencerna CO2. Artinya, kita telah melampaui titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.

Kita butuh kecepatan dan ketepatan membaca masalah hingga dapat memilih solusi yang efektif. Solusi yang mampu berpacu dengan waktu untuk memperlambat laju pemanasan global. Berkaitan dengan ini, dalam konferensi persnya di Paris, 15 Januari 2008, Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk: pertama, jangan makan daging. Kedua, kendarai sepeda. Ketiga, jadilah konsumen yang hemat.

Mengapa ”jangan makan daging” berada pada urutan pertama? Fakta berbicara, seperti laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock’s Long Shadow – Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi karbon paling intensif (18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, helikopter) di dunia (13,5%). Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 2,4 miliar ton CO2.

Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin.

Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Prediksi produksi pakan ternak naik dari 7,2 juta ton menjadi 7,7 juta ton, kata Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas-Paulus Setiabudi (Kompas, 8 November 2007). Sementara itu, menurut data Indonesian Nutrition Network (INN), setengah dari penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K).

Tanggal 30 April 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak segenap bangsa ini untuk bersama saling membahu menghadapi krisis pangan dunia. Akar masalah kelangkaan pangan jika dicermati salah satunya adalah krisis manajemen lahan itu sendiri. Secara matematis, inefisiensi pemakaian lahan pertanian untuk pakan ternak tercermin dari perhitungan kalori yang “terbuang” untuk membesarkan ternak cukup. Pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar orang. Sebenarnya tidaklah sulit untuk memahami mendesaknya perubahan pola makan ini, yakni perubahan ke pola makan yang mata rantainya pendek. Perut manusia bisa langsung mencerna kedelai, jagung dan gandum tanpa harus melalui perut ternak terlebih dahulu. Tidakkah beralih ke pola makan bebas daging justru dapat menjadi solusi ketimpangan akses pangan seluruh dunia?

Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 (karbondioksida), 65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu diketahui efek rumah kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali CO2. Satu lagi masalah industri peternakan yang sangat krusial yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya ”Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization” (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi.

Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter ”Meat The Truth” menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el) mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.

Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin (”Diet, Energy and Global Warming”) merunut kontribusi setiap potongan daging terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan dipublikasikan dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10 (Maret 2006). Jumlah gas rumah kaca yang diemisikan oleh daging merah, ikan, unggas, susu dan telur jika dibandingkan dengan diet murni nabati/vegan, ternyata jika satu orang dalam setahun mau mengganti diet hewani mereka ke diet nabati murni/vegan akan mencegah emisi CO2 sebesar 1,5 ton. Lima puluh persen lebih efektif daripada upaya mengganti mobil Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.

Objektivitas akan menuntun kita untuk mengakui pola konsumsi daging sebagai kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Pilihan kita tidak banyak, mengingat tenggat waktu yang demikian sempit. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, bahwa seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produk hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Menurut Bartlett, tidak ada langkah yang lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan yang dapat mengurangi kontribusi tiap individu terhadap emisi gas rumah kaca selain memangkas jumlah konsumsi daging dan produk susu dan olahannya.

Aksi untuk hemat bahan bakar kita masih banyak bergantung pada fasilitas umum. Upaya yang paling bisa kita lakukan adalah menggunakan kendaraan umum. Namun, sudah menjadi rahasia umum, tidak mudah untuk menggunakan kendaraan umum jika berhadapan dengan kepentingan keamanan, dan untuk ini kita masih bergantung pada kebijakan pemerintah. Aksi hemat energi dalam konteks yang paling ideal bergantung pada teknologi. Sumber energi paling ramah lingkungan yakni tenaga angin, air, dan matahari, masih jauh membutuhkan teknologi dan biaya yang tidak kecil. Butuh waktu yang panjang dan upaya ekstra untuk menggerakkan kesadaran massal untuk hemat energi, hemat listrik, hemat bahan bakar karena harus berhadapan dengan kebiasaan dan perilaku yang telah mengakar.

Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Namun, memegang sendok dan akhirnya menjatuhkan pilihan apa yang akan dimasukkan ke mulut kita, sepenuhnya berada di kendali kita. Langsung bisa dilakukan! Jarak antara piring dan mulut kita mungkin hanya sejarak panjang sendok, membalikkan isi sendoknya hanya butuh waktu sekedipan mata, tapi kendalinya ada pada mindset tiap kita. Sejenak, biarkan kepala dingin hadir. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan pola konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung Bumi. Sejenak merasakan beban berat Bumi ini mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola konsumsi tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah Bumi.

PS 1.Penulis adalah Koordinator Indonesia Vegetarian Society Regional Yogyakarta - Jateng.
PS2. artikel ini repost dari www.dee-idea.blogspot.com

Kamis, 01 Mei 2008

Javelins - Heavy Meadows (2008)

Genre : Indie,Rock,Experimental GREAATT!!
Myspace
download


Tracklist


01. Flowers
02. Heavy Meadows
03. The Pounding
04. El Dorado
05. Roman Saints
06. Out On The Sand
07. Pickup Lines
08. Entropy
09. JConnected
10. Red Handed

"Javelins have created the perfect summer record for 2008. From the very first shimmery wall of guitar, every note of Heavy Meadows is capable of sticking to a listener's heart and brain." - Metro Times

"Javelins have gone the extra mile on all fronts.... literate, orchestral pop, heightened by their ear for whirling futuristic breakneck rock." - Real Detroit Weekly

"Javelins didn’t just write a collection of random songs. They aimed to achieve a cohesive work of art, capturing in music the contradictory nature of the wounded lover.... this is the sound of zero gravity." - Detour Magazine

"Whether it’s the small thread of psychedelia running throughout the album, the lush instrumentation, driving guitars, danciness, expansiveness, smoky-yet-sharp feel — I’ve found myself enjoying each one." - Buzzgrinder.com

"Jangly and dreamy, but also poppy. and Awesome." - Relevant Magazine